Me

Me

Rabu, 02 Juni 2010

Interferensi Fe(III) pada penentuan tembaga (Cu)

A. Judul Percobaan
Pemisahan Metodik Interferensi Fe (III) pada Penentuan Tembaga (Cu)
B. Tujuan Percobaan
Mencegah gangguan interferensi Fe (III) pada penentuan tembaga (II) pada titrasi iodometri
C. Landasan Teori
Kimia analitik merupakan cabang ilmu kimia yang berhubungan dengan pemisahan dan analisis senyawa kimia yang mencakup analisis kualitatif dan kuantitatif. Dikatakan berhubungan dengan pemisahan, karena mencakup pemisahan secara fisis maupun kimia. Pemisahan secara fisis dapat dilakukan sejak pengambilan sampel sampai dengan memisahkan hasil (misalnya penyaringan endapan). Pemisahan secara kimia misalnya menentukan karbonat dan bikarbonat yang berasal dari suatu campuran melalui titrasi. Kedua senyawa tidak perlu dipisahkan secara fisis, tetapi dengan menggunakan indicator yang berbeda, kedua senyawa tetap berada dalam sampel bersama-sama dapat ditentukan secara terpisah (Tim dosen kimia analitik, 2010; 1).
Adakalanya di dalam suatu analisis, tahap pengukuran baik untuk tujuan kualitatif maupun kuantitatif dapat dilakukan langsung terhadap sampel. Namun, lebih sering terjadi adalah diperlukannya tahap pemisahan analit dari zat-zat pengganggu agar proses pengukuran itu terjadi dalam medium bebas dari gangguan (Soebagio, 2002; 1).
Ion besi (III) berukuran relatif kecil dengan rapatan muatan 349 c mm-3 untuk low spin dan 232 c mm-3 untuk high-spin hingga mempunyai daya mempolarisasi yang cukup untuk menghasilkan ikatan berkarakter kovalen. Besi (III) bromida mirip dengan basi (III) klorida, tetapi besi (III) iodida tidak dapat diisolasi sebab ion iodida mereduksi besi (III) menjadi besi (II)
2Fe3+ + 2I-  2Fe2+ + I2
(Sugiyarto, 2003; 242).
Jika larutan iodium di dalam KI pada suasana netral maupun asam dititrasi maka:
I3- + 2S2O32- 3I- + S4O62-
Selama reaksi zat antara S2O3I- yang tidak berwarna adalah terbentuk sebagai:
S2O32- + I3- S2O3I- + 2I-
Yang mana berjalan terus menjadi:
2S2O3I- + I- S4O62- + I3-
Warna indikator muncul kembali pada:
S2O3I- + S2O32- S4O62- + I-
Reaksi berlangsung baik di bawah pH= 5,0 sedangkan pada larutan alkali, larutan asam hypoiodus (HOI) terbentuk (Khopkar, 2007; 54).
Kelebihan KI bereaksi dengan Cu (II) untuk membentuk CuI dan melepaskan sejumlah ekivalen I2.
2Cu2+ + 4I- 2CuI + I2
2Cu2+ + 3I- 2CuI + I3-
Iodida berperan sebagai reduktor. Reaksi dengan Cu:
Cu2+ + e- Cu+ E0 = 0,15 V
I2 + 2e- 2I- E0 = 0,54 V
Cu2+ + I- + e- CuI E0 = 0,86 V
(Khopkar, 2007; 54).
Kalium iodida mengendapkan tembaga (I) iodida yang putih, tetapi larutannya berwarna coklat tua karena terbentuknya ion-ion triiodida (iod)
2Cu2+ + 5I 2CuI + I3-
Dengan menambahkan natrium tiosulfat berlebih kepada larutan ion triiodida direduksi menjadi ion iodida yang tidak berwarna, dan warna putih dari endapan menjadi terlihat. Reduksi dengan tiosulfat menghasilkan ion tetrationat
I3- + 2S2O32- 3I- + S4O62-
Reaksi ini dipakai dalam analisis kualitatif untuk penentuan tembaga secara iodometri (Svehla, 1990; 231).
Diantara sekian banyak contoh teknik atau cara dalam analisis kuantitatif terdapat dua cara melakukan analisis dengan menggunakan senyawa pereduksi ioduim yaitu secara langsung dan tidak langsung. Cara langsung disebut iodimetri (digunakan larutan iodium untuk mengoksidasi reduktor-reduktor yang dapat dioksidasi secara kuantitatif pada titik ekivalennya). Namun, metode iodimetri ini jarang dilakukan mengingat iodium sendiri merupakan oksidator yang lemah. Sedangkan secara tidak langsung disebut iodometri (oksidator yang dianalisis kemudian direaksikan dengan ion iodida berlebih dalam keadaan yang sesuai yang selanjutnya iodium dibebaskan sacara kuantitatif dan dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat standar atau asam arsebit (Anonim, 2009).
D. Alat dan Bahan
a. Alat
1. Erlenmeyer 250 mL 6 buah
2. Botol semprot 1 buah
3. Buret 50 mL 2 buah
4. Statif dan klem 2 buah
5. Gelas kimia 250 mL 1 buah
6. Corong biasa 1 buah
7. Batang pengaduk 1 buah
8. Ball pipet 1 buah
9. Pipet ukur 25 mL 1 buah
10. Gelas ukur 10 mL 1 buah
11. Gelas ukur 25 mL 1 buah
12. Labu ukur 100 mL 1 buah
13. Neraca Analitik
14. Pipet tetes
b. Bahan
1. KIO3 (kalium iodat) 0,1 N
2. H2O (aquadest)
3. KI (kalium iodida) 1 N dan 0,1 N
4. HCl (asam klorida)
5. Na2S2O3 (natrium tiosulfat) 0,1 N
6. Indikator amilum
7. Sampel A
8. Sampel B
9. KF 0,5 N
E. Cara Kerja
1. Menyediakan larutan kalium iodat 0,1 N dengan menimbang 0,35 gram KIO3 dan melarutkannya dalam labu ukur 100 mL dengan aquadest sampai tanda batas.
2. Mengambil 25 mL larutan standar primer KIO3 0,1 N, kemudian menambahkan 5 mL KI 1 N setelah itu menambahkan 10 mL HCl 2 N.
3. Menitrasi iodium yang bebas dalam larutan iodat ini dengan Na2S2O3 yang akan distandarisasi sampai warna berubah dari merah bata menjadi kuning pucat
4. Menambahkan 1-2 mL larutan amilum dan melanjutkan titrasi sampai warna biru hilang
5. Menghitung normalitas Na2S2O3 yang sebenarnya
6. Mengambil 25 mL larutan sampel A dan sampel B kemudian menambahkan 10 mL KI 0,1 N dalam masing-masing larutan.
7. Menitrasi iodium yang bebas dalam larutan sampel A dan B dengan natrium tiosulfat yang telah distandarisasi.
8. Menggunakan indicator amilum dan titrasi dihentikan bila warrna biru hilang. Mencatat volume titran
9. Mengambil 25 mL larutan sampel B. sebelum menambahkan 10 mL KI 0,1 N, terlebih dahulu ditambahkan 25 mL larutan KF 0,5 N untuk mengubah Fe(III) menjadi kompleks stabil. Kemudian menitrasi iodium yang bebas dengan tiosulfat dan menggunakan indicator amilum.
10. Mengulangi cara kerja 6,7, dan 8 hingga tiga kali dan mencatat volume titran.
F. Hasil Pengamatan
a) Standarisasi Na2S2O3
25 mL KIO3 0,1 N (bening) + 5 mL KI 1 N (bening)  larutan kuning + 10 mL HCl 2 N  larutan merah bata titrasi larutan kuning pucat + amilum  larutan biru titrasi larutan bening
Volume larutan Na2S2O3 yang digunakan
• Titrasi I : 26,00 mL
• Titrasi II : 25,60 mL
• Titrasi III : 25,70 mL
Dengan volume ata-rata = 25,77 mL

b) Penentuan Kadar Cu dalam Sampel
• 25 mL sampel A (biru) + 10 mL KI 0,1 N (bening)  larutan hijau titrasi larutan hijau pucat + amilum titrasi larutan putih susu
Volume Na2S2O3 yang digunakan
 Titrasi I : 8,40 mL
 Titrasi II : 8,60 mL
 Titrasi III : 8,50 mL
Dengan volume rata-rata 8, 50 mL
• 25 mL sampel B (hijau) + 10 mL KI 0,1 N (bening)  larutan coklat titrasi larutan coklat pucat + amilum titrasi larutan putih susu
 Titrasi I : 27,90 mL
 Titrasi II : 27,60 mL
 Titrasi III : 27,90 mL
Dengan volume rata-rata 27,80 mL
• 25 mL sampel B (hijau) + 25 mL KF 0,5 N (bening)  larutan biru + 10 mL KI 0,1 N (bening)  larutan hijau + amilum titrasi larutan putih susu
 Titrasi I : 7, 40 mL
 Titrasi II : 7,30 mL
 Titrasi III : 7,50 mL
Dengan volume rata-rata 7,40 mL


G. Analisis Data
1. Standarisasi larutan Na2S2O3
Dik : V KIO3 = 25 mL
N KIO3 = 0,I N
V tio = 26,00 mL + 25,60 mL + 25,70 mL
3
= 25,77 mL
Dit : N tio…..?
Peny :
N tio = (V x N) KIO3
V tio
= 25 mL x 0,1 N
25,77 mL
= 0,097 N
2. Penentuan Kadar Cu pada sampel A dan B
Dik : BM Cu = 63,5 mg/mmol
N tio = 0,097 mgrek/mL
V tio pada sampel A = 8,40 mL + 8,60 mL + 8,50 mL
3
= 8,50 mL

V tio pada sampel B = 27,90 mL + 27,60 mL + 27,90 mL
3
= 27,80 mL
V sampel A = V sampel B = 25 mL
Dit : Kadar Cu pada sampel A dan B…..?
Peny :
Na2S2O3  2Na+ + S2O32-
0,097 mgrek/mL = 0,097 mgrek/mL
2 mgrek/mmol
= 0,0485 mmol/mL
a) Untuk sampel A
Kadar Cu = (V x N) tio x BM Cu
V sampel A
= 8,50 mL x 0,0485 mmol/mL x 63,5 mg/mmol
25 mL
= 26,18 mg/mL
25
= 1,05 mg/mL
b) Untuk Sampel B
Kadar Cu = (V x N) tio x BM Cu
V sampel B
= 27,80 mL x 0,0485 mmol/mL x 63,5 mg/mmol
25 mL
= 85,62 mg/mL
25
= 3,42 mg/mL
3. Penentuan Kadar Cu pada sampel B + KF 0,5 N
Dik : BM Cu = 63,5 mg/mmol
N tio = 0,0485 mmol/mL
V tio = 7,40 mL + 7,30 mL + 7,50 mL
3
= 7,40 mL

V sampel B = 25 mL
Dit : Kadar Cu pada sampel B + KF…..?
Peny :
Kadar Cu = (V x N) tio x BM Cu
V sampel B
= 7,40 mL x 0,0485 mmol/mL x 63,5 mg/mmol
25 mL
= 22,79 mg/mL
25
= 0,91 mg/mL
H. Pembahasan
a. Standarisasi larutan Na2S2O3 0,1 N
Pada percobaan ini, larutan standar Na2S2O3 0,1 N distandarisai dengan menggunakan larutan KIO3 0,1 N yang berfungsi sebagai larutan standar primer yang akan mengoksidasi iodida menjadi iod, kemudian ke dalam larutan KIO3 0,1 N ini, ditambahkan larutan KI yang berfungsi sebagai penyedia ion iodida (I-) yang kemudian akan menjadi iodium. Setelah itu ditabahkabn HCl yang berfungsi memberikan suasana asam pada larutan. Hal ini karena reduksi dapat berlangsung dngan baik pada suasana asam.
Adapun reaksi yang terjadi, yaitu :
KIO3  K+ + IO3-
KI  K+ + I-
Reduksi : IO3- + 6 H+ + 6 e  I- + 3H2O x1
Oksidasi : 2I-  I2 + 2e x3
IO3- + 5I- + 6H+  3I2 + 3H2O
Dengan reaksi lengkap :
KIO3 + 5KI + 6HCl  KCl + 3I2 + 3H2O
Setelah ditambahkan HCl, larutan segera dititrasi. Titrasi dilakukan dengan menggunakan larutan standar Na2S2O3 0,1 N. titrasi dilakukan dari warna merah bata menjadi kuning pucat. Setelah itu, ditambahkan indicator amilum yang berfungsi untuk mengatahui apakah semua iod telah habis bereaksi. Larutan kemudian kembali dititrasi sampai warna biru pada larutan hilang (bening). Volume rata-rata natrium tiosulfat yang digunakan yaitu 25,77 mL sehingga diperoleh konsentrasi sebesar 0,097 N
Adapun reaksi yang terjadi, yaitu :
Reduksi : I2 + 2e  2I-
Oksidasi : 2S2O32-  S4O62- + 2e
I2 + 2S2O32-  2I- + S4O62-
Dengan reaksi lengkap :
2Na2S2O3 + 2¬I¬2  2NaI + Na2S4O6
Standarisadsi larutan Na2S2O3 yang dilakukan karena Na2S2O3 merupakan larutan standar sekunder yang tidak stabil dalam penyimpanan yang kemudian dapat mengubah mengubah konsentrasi Na2S2O3 karena adanya bekteri pemakan belerang yang menyebabkan pembentukan SO42-, SO32= dengan belerang koloidal. Oleh karena itu, larutan perlu untuk mengetahui konsentrasi
b. Penentuan Kadar Cu dalam sampel A dan B
Pada percobaan ini, dugunakan larutan smpel A yang menandung Cu muri dan larutan sampel B yang mengansung Cu dan Fe(III). Pada masing-maing larutan sampel ditambahkan dengan KI yang berfungsi untuk melepas I-. pada sampel A , iodida (I-) dioksidasi oleh Cu2+ menjadi iodium (I2) sedang pada sampel B, selain Cu2+ juga terdapat Fe3+ yang juga ikut mengoksidasi I- menjadi I2.
Adapun reaksi yang terjadi, yaitu :
Sampel A : 2Cu2+ + 4I-  2CuI + I2
Sampel B : 2Cu2+ + 4I-  2CuI + I2
Fe3+ + 2I-  Fe2+ + I2
Setelah penambahan KI, larutan kemudian dititrasi dengan larutan standar Na2S2O3 dari warna hijau menjadi hijau pucat (sampel A). setela itu ditambahkan indicator amilum un menetahui apakan semua iod telah habis bereaksi. Kemudian titrasi dilanjutkan sampai berwarna putih susu. Pada sampel A, volume rata-rata Na2S2O3 yang digunakan adalah 8,50 mL sehingga diperoleh kadar sampel sebesar 1,05 mg/mL. pada sampel B, volume rata-rata Na2S2O3 yang digunakan yaitu 27,80 mL sehingga dipoeroleh kadar Cu pada sampel B lebih banyak dibandingkan kadar Cu pada sampel A. Hali ini disebabkan karena adanya interferensi iodida menjadi iodium sehingga volume Na2S2O3 yang digunakan menjadi jauh lebih banyak.
Adapun reaksi yang terjadi, yaitu
Reduksi : I2 + 2e  2I-
Oksidasi : 2S2O32-  S4O62- + 2e
I2 + 2S2O32-  2I- + S4O62-
Dengan reaksi lengkap :
2Na2S2O3 + 2¬I¬2  2NaI + Na2S4O6
c. Penentuan Kadar Cu dalam sampel B + KF
Pada percobaan ini, sampel B yang mengandung Cu2+ dan Fe3+ ditambahkan dengan KF yang berfungsi untuk mencegah interferensi Fe3+ kerena terbentuknya ion kompleks antara KF dan Fe3+ sehingga Fe3+ tidak lagi bisa mengoksidasi iodida menjadi iodium.
Adapun reaksi yang terjadi, yaitu :
Fe3+ + 6KF  6K+ + [FeF6]3-
[FeF6]3- + I-
Setelah itu ditambahkan larutan KI yang berfungsi untuk melepaskan iodida yang kemudian bereaksi dengan Cu2+ membentuk I2.
Adapun reaksi yang terjadi, yaitu :
2Cu2+ + 4I-  2CuI + I2
Setelah itu, larutan dititrasi dan ditambahkan indicator amilum kemudian dititrasi kembali sampai larutan berwarna putih susu. Volume rata-rata Na¬2S2O3 yang digunakan yaitu 7,40 mL sehingga diperoleh kadar Cu sebesar 0,91 mg/mL. nilai ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kadar Cu pada saat sampel B belum ditambahkan dengan KF. Hal ini karena pada larutan sampel B + KF sudah tidak terdapat interferensi Fe3+
Reduksi : I2 + 2e  2I-
Oksidasi : 2S2O32-  S4O62- + 2e
I2 + 2S2O32-  2I- + S4O62-
Dengan reaksi lengkap :
2Na2S2O3 + 2¬I¬2  2NaI + Na2S4O6
I. Kesimpulan dan Saran
a. Kesimpulan
1) Konsentrasi Na2SO3 yang diperoleh setelah standarisasi sebesar o,o97 N
2) Kadar Cu pada sampel A sebesar 1,05 mg/mL
3) Kadar Cu pada sampel A sebesar 3,42 mg/mL
4) Kadar Cu pada sampel A sebesar 0,91 mg/mL
5) Interferensi Fe(III) dapat dicegah denan penambahan KF yang akan membentuk kompleks stabil dengan Fe3+
b. Saran
Sebaiknya praktikan selanjutnya lebih berhati-hati dalam melakukan percobaan serta lebih teliti agar diperoleh hasil yang maksimal.



DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Kuliah : Iodometri dan Iodimetri. Http://wiro.pharmacy.blogspot.com/2009/02/kuliah-iodometri-dan-iodimetri.html. Diakses pada 10 November 2009.

Khopkar. 2007. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : UI-Press.
Soebagio. 2003. Kimia Analitik II. Malang : JICA.
Sugiyarto, Kristian H. 2003. Kimia Anorganik II. Yogyakarta : JICA.
Svehla. 1990. Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semi Mikro Bagian I. Jakarta : PT Kalman Media Pustaka.

Tim Dosen Kimia Analitik. 2010. Penuntun Praktikum Kimia Analitik II. Makassar : Laboratorium Kimia, FMIPA, UNM.



















JAWABAN PERTANYAAN

1) Semua Reaksi yang terjadi dalam percobaan :
 Standarisasi Larutan Na2S2O3 0,1 N
KIO3  K+ + IO3-
KI  K+ + I-
Reduksi : IO3- + 6 H+ + 6 e  I- + 3H2O x1
Oksidasi : 2I-  I2 + 2e x3
IO3- + 5I- + 6H+  3I2 + 3H2O
Dengan reaksi lengkap :
KIO3 + 5KI + 6HCl  KCl + 3I2 + 3H2O
Raksi saat Penambahan Na2S2O3
2Na2S2O3 + 2¬I¬2  2NaI + Na2S4O6
 Penentuan Kadar Cu
Sampel A
Penambahan KI
2Cu2+ + 4I-  2CuI + I2
Pada saat Titrasi
2Na2S2O3 + 2¬I¬2  2NaI + Na2S4O6
Sampel B
Penambahan KI
2Cu2+ + 4I-  2CuI + I2
Fe3+ + 2I-  Fe2+ + I2
Pada saat Titrasi
2Na2S2O3 + 2¬I¬2  2NaI + Na2S4O6
Sampel B + KF
Penambahan KF
Fe3+ + 6KF  6K+ + [FeF6]3-
Penambahan KI
2Cu2+ + 4I-  2CuI + I2
[FeF6]3- + I-
Pada saat Titrasi
2Na2S2O3 + 2¬I¬2  2NaI + Na2S4O6
2) Fungsi dari NaF/KF adalah untuk mengubah Fe(III) menjadi kompleks stapib sehingga dapat mencegah interferensi Fe3+
3) Interferensi Fe3+ pada penentuan ion Cu2+ yaitu menyebabkan kadar Cu menjadi besar karena Fe3+ juga ikut mengoksidasi I- menjadi I2 sehingga larutan standar Na2S2O3 yang digunakan dalam titrasi menjadi lebih banyak.
4) Na2CO3 berfungsi menjaga larutan natrium tiosulfa (Pengawet) karena adanya bekteri pemakan belerang yang menyebabkan pembentukan SO42-, SO32= dengan belerang koloidal. Penambahan Na2CO3 tidak akan mempengaruhi proses titrasi karena dia tidak mengalami oksidasi. Yang mengalami oksidasi pada proses ini yaitu natrium tiosulfat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar